Jatuh rasanya langit ini!
BINGIT suasana di kelab itu. Setiap hari Sabtu, Putra memang tidak pernah
culas mengunjungi kelab itu. Seolah-olah satu ketagihan untuk melihat suasana
bermandi cahaya dengan muzik yang membingitkan di situ.
“Hey, bro...” seseorang menyapa
tatkala Putra melintasinya.
“Hey... nice shirt,” balas Putra
lantas tersenyum kepada si penyapa.
“Brand new. How are you?” jawab lelaki
itu.
“I’m good.” Terpandangkan teman-temannya
sudah berada di tempat biasa, Putra segera mengangkat tangan kepada lelaki itu.
“I’ve got to go.”
“See you. Have fun.”
“You too, Patrick. You too.” Putra
sekadar menjawab
perlahan sahaja biarpun dia tahu ucapannya itu
tidak sampai ke pendengaran Patrick. Dia meneruskan langkah untuk mendapatkan
kawan-kawannya.
“Putra...” Kehadiran Putra mula disambut riuh
oleh penghuni di meja itu. Putra tersenyum lebar sebelum dia mengambil tempat
yang sememangnya sudah dikosongkan untuknya semenjak awal lagi.
“You’re late.”
“I jumpa your ex-boyfriend kat depan
tadi, Jess.” Putra menjawab sambil menuding ke arah lelaki yang ditemuinya.
“Patrick?” Spontan terbeliak mata Jessica
kepada Putra.
“We should invite him to join us,” ujar
Putra lantas ketawa kepada gadis itu.
“I don’t want to see him! Is he alone?”
tanya gadis China itu kepada Putra lagi.
“Don’t worry. Dia dengan orang lain. I
nampak ada girl sebelah dia,” balas Putra lantas melambai ke arah
pelayan yang berdiri dekat dengan meja bar. Namun secara tidak sengaja dia
terpandangkan seorang perempuan sedang duduk di bar seorang diri. Serta-merta
perhatiannya berubah.
“Yeah... he saw it,” usik salah seorang
teman Putra. Mereka ketawa galak melihat Putra mula merenung gadis itu. Putra
hanya buat tidak dengar ejekan kawan-kawannya.
“Putra,” panggil Max sambil menarik lengan
Putra.
“What?”
“Do you know who’s that girl?” ucap Max
separuh berbisik di telinga Putra. Putra menoleh lagi kepada gadis jelita itu.
Kemudian dia menggeleng.
“Tariq Holding... dia anak angkat Tan Sri
Falaq,”
ucap Max perlahan.
“Really? How do you know?” balas
Putra agak terkejut.
“I know. I selalu nampak dia dengan
Kamil dan Puan Sri Karmila. Itu adik Kamil.”
“Really? Ini tak boleh dibiarkan!” ucap
Putra mula menyeringai jahat. Teringat apa yang dilakukan Kamil kepadanya
dahulu.
“It’s your turn to pay the debt.” Max
ketawa kecil sambil menyelitkan sebiji pil di telapak tangan Putra. Macam tahu
apa yang ada dalam fikiran temannya.
“Three... two... one... see? Dia mesti
pergi!” ajuk penghuni meja itu sebaik sahaja Putra bangun. Putra sempat menoleh
dengan senyuman nakal.
Tania ralit termenung merenung Coke di dalam cawannya.
Tetapi tiba-tiba tubuhnya diterjah seseorang dari belakang. Serta-merta dia
menoleh. Seorang lelaki telah pun berdiri di sebelahnya.
“Opss... sorry! Ada orang tolak
I.”
“It’s fine,” balas Tania perlahan.
Dadanya mula berdebar sebaik sahaja terpandangkan lelaki itu.
“Putra...” ucap Putra lantas menghulurkan
tangan kepada gadis itu.
“Tania...” Tania cuba mengukir senyum sebelum
menyambut huluran sang lelaki.
“Are you alone?”
“Nope...” Tania memuncungkan mulutnya
ke arah temannya. Vivian sedang melayan seorang lelaki lain berbual. Putra
memandang gadis Cina itu seketika sebelum kembali merenung Tania.
“You’re alone.” Putra menyeringai ceria
dengan
hakikat itu. Tania sekadar menghadiahkan
senyuman hambar.
“Minum, boss?” Seorang barista menyapa
Putra.
“Macam biasa,” balas Putra ringkas.
“You nak minum apa?” tanya Putra. Tania segera
mengangkat gelasnya. Air Coke yang dipesannya masih banyak.
“I tak pernah nampak you kat sini,” ujar Putra
lagi dalam pada bola matanya ralit merenung raut gadis itu. Nampak macam orang
baik-baik. Jadi, apa yang dia buat di sini? Putra tertanya dalam diam.
“This is my first time,” jawab Tania
macam hendak dengan tidak sahaja.
“You sedang cari kawan di sini?”
“Maksudnya?”
“Sini tempat untuk orang yang lonely.
You boleh keluar dengan sesiapa pun lepas ni,” ujar Putra.
Tania hanya diam mendengar. Tidak faham apa
yang diucapkan lelaki itu.
“I boleh temankan you,” ujar Putra lagi.
“So, you pun lonely jugak ke?”
Tania memberanikan diri mengajukan soalan kepada Putra. Tidak mahu nampak
begitu naif atau kekok.
“You might say that. I dengan kawan kat
sana tadi. Meja penuh. So, I terpaksa duduk sebelah you ni. Tapi I tak
rasa terpaksa sangat pun sebenarnya. I rasa di sini lebih baik berbanding di sana,”
balas Putra lantas menyeringai macam orang miang.
Tania hanya terkebil-kebil seolah-olah fikiran
sedang menerawang jauh. Semenjak mula menjejakkan kaki ke sini fikirannya sudah
tidak tenteram. Seolah-olah dia sedang berada di dunia yang sangat asing dan
aneh.
“Kita
pernah jumpa ke sebelum ni?” tanya Putra saat Tania memandang ke arahnya.
“Entahlah. Tak kut,” jawab Tania berserta
dengan jongketan di bahu.
“What are doing now? I mean... what
did you do for a living.” Suara Putra kedengaran lagi. Makin berminat
hendak berbual. Sambil itu dia mulalah mendekatkan kedudukannya kepada gadis
itu.
“Proud to say that I’m jobless. Baru
balik dari Aussie.” Tania sengih hambar lagi. Kali ini dengan penipuan yang
baru sahaja dibuatnya.
Putra mengerling dengan ekor mata. Dia perasan
dompet Tania dari jenama yang terkenal. Kalau bukan gadis ini anak orang kaya
sudah pasti seorang wanita yang menjawat jawatan tinggi dengan bergaji besar.
“Can I have your number?”
“Why?” balas Tania sedikit jengkel.
“This is evil. And you’re the devil.”
“What?” Tania tercengang sedikit saat
memandang memandang Putra.
“Bila ada seorang perempuan cantik duduk
bersendirian, dah tentu lelaki macam I akan segera ingin temankan. You tak
halau I pergi. Tapi bila I minta nombor telefon you, you buat-buat tanya untuk
menolak kehendak I. Itu namanya zalim,” ujar Putra sambil tersengih. Jual mahal
juga gadis ini rupanya.
“I’m not familiar with your rules. But I do
familiar with your eyes. What are you staring at?” balas Tania sedikit
tidak senang. Setiap kali dia memandang Putra, dia perasan lelaki itu suka
merenung bibirnya.
“You!” sambut Putra lantas ketawa kecil saat
dirinya dihadiahkan jelingan Tania.
“Come
on... ada masa mungkin kita boleh luangkan masa hi-tea. I have a
feeling, you will like me,” ujar Putra lembut dengan nada memujuk dan
menggoda.
“You don’t know that, mister.” Tania
mencebik sedikit, menyampah mendengar lelaki itu memuji diri sendiri.
“You don’t know me anyway,” balas Putra
lantas menuding ke arah Tania.
“There’s nothing special about me. Trust
me. You’ll get boring. My life is empty.”
“Kita cuba dulu baru kita putuskan sama ada
betul atau tidak you ni membosankan,” jawab Putra sambil menggerakkan lengannya
di atas meja bar itu. Secara tidak sengaja gelas Tania terjatuh ke bawah. Tania
tersentak lantas memandang ke bawah. Air itu sudah bertebaran di lantai.
“Opss! I’m so sorry.” Putra
tunduk mahu mengambil gelas itu. Tetapi seorang pelayan terlebih dahulu tiba.
“I’m sorry. Berikan Coke untuk teman I
ni,” ucap Putra sambil sebelah tangan pelayan itu diambilnya. Mereka berjabat
tangan. Pelayan itu memandang sekilas ke arah Putra. Namun kemudian dia
mengangguk dan pergi.
“You don’t have to do that.”
“Biar I belanja you hari ni. I minta maaf. I
tak sengaja,” ujar Putra lembut.
Tania diam pula biarpun dia bukannya perlu
benar air itu melainkan dijadikan alat untuk tangannya bergerak sekali-sekala.
Supaya tidaklah dia nampak macam orang yang tak tahu nak buat apa di dalam
tempat ini.
“You nampak macam tak happy kat sini.
Kalau you nak kita boleh pergi tempat lain...”
“It’s okay!” Tania mencelah segera.
Macam sudah tahu maksud lelaki itu. Mulalah dia seram semacam. Pandangan
dihalakan ke sebalik bar itu. Bermacam-macam
jenis alkohol dilihatnya. Membuatkan dia
bertambah resah.
“Okey.” Putra diam pula sambil memandang
sekeliling.
“This is your drink, mem.” Barista
meletakkan gelas Coke baru di hadapan Tania sebelum dia berlalu untuk
meneruskan kerjanya.
Resah. Tania mengangkat gelas itu lalu airnya
diteguk sedikit demi sedikit. Dia masih terfikir-fikir hendak diucapkan untuk
menarik perhatian lelaki itu. Dia bukannya reti!
“Tania...”
“Ha?” Tania menoleh semula ke arah Putra.
Tania tiba-tiba terpana begitu sahaja memandang raut lelaki itu. Fikirannya
jadi kosong.
“I want to know you better,” ucap Putra
lembut.
“Boleh... boleh.” Tania menjawab sedikit
tergagap. Tidak begitu sedar dengan jawapan yang diberikan.
“Apa kata kita mula dari sekarang?” tanya
Putra sambil tersengih. Tania dilihatnya sudah mula tidak keruan.
“I don’t know...” balas Tania perlahan.
Perlahan dia mula turun dari kerusinya. Mahu mencari Jazli. Tetapi pandangannya
mula tidak secerah tadi. Tambahan pula lampu berkilauan, dia silau.
“Let me take you home...” Suara itu
kedengaran garau dan bergema di telinga Tania. Tatkala ada tangan memaut
bahunya, dia hanya terdaya mengikut ke mana saja lelaki itu membawanya pergi.
“Where are we going?” bisik Tania
setelah dia tersedar dari mamainya. Namun kesedaranya masih tidak sepenuhnya.
Dia tidak kenal lelaki yang memandu di sebelahnya itu.
“My place...”
“Kamil...
mana Kamil?” ucap Tania mula mahu keluar dari kereta itu.
“Syyhh...” lelaki itu menarik Tania
agar bersandar semula. Tania rebah begitu sahaja di kerusinya.
Kereta dipandu laju oleh Putra. Mahu lekas
tiba di rumahnya. Setelah keretanya dipakirkan di petak pakir miliknya, Putra
segera memapah gadis itu keluar.
“I nak balik. I nak balik sekarang,” ucap
Tania antara sedar dan tidak.
Putra hanya buat tidak tahu. Bertambah sakit
hati mendengar Tania memanggil nama lelaki lain berkali-kali. Setelah pintu
rumah dibuka, Tania segera dicempung lalu dibawa ke kamar tidurnya. Lama Putra
berdiri di tepi katil sambil memandang gadis itu tergeletak resah di atas
katilnya.
“Kamil...” ucap Tania lagi. Lemah tidak
berdaya. Sudahnya dia terlena juga.
PUAS TERLENA, Tania menggerakkan tubuhnya di bawah selimut tebal itu. Setelah
kedua-dua kelopak matanya celik, dia terpandangkan katil itu. Asing. Bertirai
dengan kain yang agak jarang di sekelilingnya, seperti katil raja. Spontan
Tania bangkit.
Pertama yang dia sedar, gaun yang dipakainya
semalam sudah tiada melainkan hanya baju dalam yang masih melekat di tubuhnya.
Serta-merta Tania menarik selimut tebal yang berada di atas tubuhnya untuk
melindungi tubuhnya yang terdedah. Serentak itu juga matanya terpandangkan
beberapa titisan merah di atas cadar itu.
“Oh God... Oh God...” Tania kelam-kabut
bangkit memandang sekeliling. Kalut dan takut! Terbuntang matanya
melihat gaunnya terdampar di atas lantai.
Sahih! Dia tidak berada di kamar tidurnya.
“Good morning. You up?” sapa satu
suara.
Serta-merta Tania menuntaskan pandangan ke
arah jendela kamar itu. Seorang lelaki sedang berdiri memerhatikan luar sambil
menghirup air dari dalam cawan.
“Who are you??? Macam mana I boleh ada
kat sini???” bentak Tania. Fikirannya keras mengatur memori semalam. Namun
samar-samar semuanya. Saat ini dia terasa mahu menjerit sekuat-kuat hatinya.
“Semalam you dengan I. Tak ingat? Nama I
Putra,” ujar Putra setelah dia menoleh.
Tania lekas-lekas mengalihkan pandangan. Malu
dia mahu memandang lelaki itu berdiri dengan hanya berseluar dalam berbentuk
seluar pendek yang amat ketat. Nampak segala bentuk rahsia sulitnya.
Putra menapak mendekati katil itu. “Coffee,
sweetheart?” tanya Putra selamba.
“Apa you buat pada I???” bentak Tania tanpa
mempedulikan lagak biasa lelaki asing itu.
“Apa I buat? I buat apa yang you nak I buat.
You ambil ecstacy ke semalam?” tanya Putra dalam nada biasa.
“Bohong! You yang perangkap I!!!” jerit Tania.
“Why should I, Tania?” balas Putra
lantas meletakkan cawan kopinya di atas meja di tepi katil. Kemudian dengan
bersahaja tubuhnya dihempas ke tilam.
Tania segera mengengsot mahu menjauhi lelaki
itu. Ketakutan dengan lagak lelaki itu. Sayangnya pergerakannya tidak terkawal
membuatkan dia terjatuh ke lantai. Gebar yang dijadikan penutup tubuhnya
tertinggal di atas katil. Sepantas kilat Tania mencapai gaunnya untuk menutup
sekujur tubuhnya dari pandangan lelaki itu.
“Semalam
you kata sakit. Bila I nak stop you tak mahu pulak. So, I teruskanlah.”
“Bohong! You yang buat I jadi macam ni!” marah
Tania tanpa memandang lelaki itu.
“Berat tuduhan tu, Tania. CCTV ada di
mana-mana. Kita boleh tengok semula kalau betul I yang paksa you. You ada
nampak I letak apa-apa pil dalam air you?” ujar Putra lembut. Tania diam pula.
Puas difikirkan bagaimana dia boleh terleka semalam.
“Sakit lagi? Let me help you,” ucap
Putra lantas mahu mendekati gadis itu.
“Stop! Stop!!! Jangan, jangan
dekat!”
Putra tidak jadi mahu mendekat. Dia duduk
bersila di tengah tilam sambil menghadap ke arah Tania.
“I tak faham... perempuan macam you buat apa
di kelab tu?”
Tania diam. Dia mahu ke kamar mandi. Tetapi
dia malu untuk membiarkan lelaki itu melihat dia separuh telanjang begini.
Sudahnya dia terus pegun di situ.
“Tania... I suka tengok you tidur semalam.
Senyap aje,” ucap Putra lagi. Entah berapa lama dia membelai wajah gadis itu.
Entah kenapa dia suka memandang Tania ketika gadis itu sedang lena.
“Shut up!” desis Tania meluat.
Putra ketawa kecil sambil menggeleng sendiri.
“Perempuan naif macam you tak sesuai di situ, Tania. You buat apa di sana
sebenarnya?”
“I nak balik! Boleh tak you pandang tempat
lain???” marah Tania.
“Semalam I dah puas pandang you.”
“Diamlah!!! Jantan tak guna!!!” jerit Tania.
Betapa
bodohnya dia. Sendiri yang menjerumus diri ke
dalam neraka ini. Sudahnya dia tergelincir begitu sahaja.
“Okey, I diam,” sambut Putra akur. Kemudian
dia berbaring sambil tersenyum sendiri. Buat-buat tidak memandang Tania.
Peluang itu segera digunakan Tania untuk mencapai gebar itu semula. Namun
sebahagian gebar itu ditindih oleh tubuh Putra.
“Baklah sini!” ucap Tania benar-benar
berang.
Putra ketawa kecil dengan gelagat gadis itu.
Namun dia akur membiarkan Tania mengambil gebar itu. “Garangnya. Semalam
merayu-rayu. You ada penyakit split personality ke?”
Tania merengus sambil mengheret gebar itu ke
kamar mandi. Kelam-kabut dia melempar gebar itu keluar setelah dia masuk ke
dalam. Pintu kamar mandi itu mahu dikuncinya tetapi ada tangan menghalang.
“Jangan ganggu I! Get off of me!”
Berhempas pulas Tania mahu menutup pintu itu. Tetapi dia tidak berjaya melawan
kekuatan sang lelaki. Putra sempat menghulurkan tangan di celahan pintu.
“Tania, ini you punya, kan? Can I keep it?”
Bulat mata Tania terpandangkan seluar dalamnya
berada di tangan Putra. Cepat-cepat objek itu dirampasnya.
“I suka colour tu, Tania.” Putra ketawa
kecil setelah itu.
Tania menghempas pintu itu setelah Putra
menarik lengannya keluar. Namun ketika mengenakan pakaian, Tania menangis
semahu-mahunya. Sungguh dia merasa dirinya begitu bodoh kerana melayan lelaki
itu berbual semalam.
“I hantar you balik,” tegur Putra setelah
Tania keluar dari kamar mandi.
Tanpa jawapan Tania meluru ke pintu. Namun
lengannya ditarik Putra agak kuat sehingga dia
terdorong ke arah lelaki itu.
“I kata I hantar you, Tania.”
“What do you want from me, ha?
Lepaslah!!!” jerit Tania lantas memukul tubuh lelaki itu untuk melepaskan
dirinya. Sayangnya perbuatannya langsung tidak memberi kesan kepada Putra.
“Apa yang I nak daripada you? Apa yang you nak
daripada I sebenarnya???” balas Putra agak lantang.
“I tak kenal you siapa!”
Putra diam merenung raut gadis itu lama
sekali. Melihat bola mata gadis itu berkaca, hati segera dijentik rasa simpati.
Lambat-lambat dia melepaskan pegangannya. “I hantar you. Jangan keluar. We
need to talk,” ucap Putra sedikit lembut.
Tania tiba-tiba pergi ke arah hujung katil.
Sambil terduduk di lantai, dia menyembunyikan wajah di sebalik kedua tangannya.
Dia menangis semahu-mahunya! Bertimpa-timpa kekesalan ke atas dirinya. Sisa
bayangan semalam terus kejam menghantui dirinya.
Putra mendekati gadis itu. Bahu Tania cuba
disentuh. Namun tangannya ditepis kasar oleh gadis itu.
“Don’t touch me!”
Putra bungkam seketika sambil merenung gadis
itu. Nafasnya dihela panjang. Kemudian dia melabuhkan duduk di hadapan Tania.
“I like you so much,” ucap Putra
perlahan.
Makin kuat pula Tania menangis. Sudahnya Putra
menarik kedua-dua tangan yang sedang melindungi wajah itu.
“Jangan ganggu I! I benci dengan apa yang you
dah
buat! Why me??? Lelaki jahat!
Penipu!!!” Tania membentak kepada lelaki itu. Merah padam wajahnya tanda
kesedihannya sudah tidak terbendung.
“Syyhh...” bisik lelaki itu lantas
menarik Tania ke arahnya.
Tania berkeras menolak namun kekuatan lelaki
itu tidak mampu ditawannya. Sudahnya dia longlai begitu sahaja saat dirinya
didakap Putra.
“Kenapa you buat macam ni? Kenapa?” rintih
Tania dalam tangisan.
“I tak tahu kenapa,” balas Putra perlahan.
Nafasnya dihela lagi seolah-olah kesal pula. “I tak boleh biarkan you pergi
macam tu saja,” ucap Putra lagi.
Tania tiba-tiba menolak tubuh lelaki itu.
“Apa lagi yang you nak, ha??? I nak balik!!!”
marah Tania sambil menepis kasar pipinya yang basah.
“I suka you. I nak dekati you selalu, Tania.”
Tania berpaling saat lelaki itu tunduk mencari
pandangan matanya. Sungguh dia terlalu benci memandang reaksi tidak bersalah
lelaki itu.
“Sayang, I tak sengaja. Okey... I’m so
sorry. You beritahu apa yang you nak I buat untuk tebus kesilapan I ni? I
akan buat...” pujuk Putra perlahan.
“Just leave me alone!” desis Tania
lantas menolak lelaki lagi itu. Jijik untuk membiarkan Putra mendekatinya
apatah lagi menyentuhnya.
“Wait for me. I pakai baju sekejap,”
ucap Putra lantas ikut bangun bersama Tania.
Tiada pilihan lain selain daripada menunggu
lelaki itu dek rumah itu berkunci. Tania seperti di awang-awangan. Tidak tahu
apa yang harus dibuatnya. Adakah
patut dia melaporkan saja kepada polis?
Layakkah lelaki itu dituduh memperkosanya sedangkan dia sendiri tidak tahu
adakah benar dia yang merelakan? Siapa yang menyuruh dia menadah diri ke
tempat-tempat seperti itu! Apakah yang hendak dijawabnya jika orang bertanya?
Malu! Dia malu dengan kebodohan sendiri.
“Let’s go...”
Suara lelaki itu menyentak lamunan Tania.
Putra segera berjalan ke arah pintu. Di situ dia berhenti untuk menanti gadis
itu. Sepanjang mereka turun dengan lif untuk ke lobi, Tania hanya berdiam.
“Nak breakfast dulu?” tanya Putra
setelah kereta digerakkan keluar dari kawasan kondominium miliknya. Tania diam
tanpa jawapan. Hanya memandang ke luar.
“Tania... hey, listen...” Putra cuba
meraih jemari Tania. Namun gadis itu menepis kasar.
“Jangan sentuh!” tukas Tania tajam.
“Okey, okey. I cuma nak dengar jawapan. Kalau
you tak mahu pun tak apa. So, mana kita patut pergi ni? I tak tahu rumah
you.”
“Berhenti kat tepi ni,” suruh Tania.
“Tania... jangan macam ni.”
“I nak you berhenti sekarang.”
Putra menghela nafas panjang. Namun kereta
tetap dilajukan di jalan raya.
“I cakap berhenti! Stop the car! Stop
now!!!” jerit Tania lantas cuba mencapai punat pada pintu tempat duduk
Putra. Membuatkan keadaan di dalam kereta itu jadi kelam-kabut seketika.
“What the hell? Don’t do that!”
Putra sedaya upaya cuba menahan tangan Tania dalam pada sebelah tangannya
tetap mengawal stereng. Kereta itu mula
bergerak dalam keadaan melelong ke kiri dan kanan. Hampir terbabas!
“Enough!!!” tengking Putra tiba-tiba.
Tania tersentak lantas terduduk semula di
kerusinya. Lelaki itu menjeling dengan rasa bengang. Namun kemudian dia
menghela nafas panjang untuk meredakan rasa marahnya. Mujurlah pergerakan
kereta dapat dikawal daripada terbabas.
“Di mana rumah you?” tanya Putra sekali lagi.
“Sri Hartamas.”
“Kan senang kalau you jawab aje soalan I tadi?
Tak perlu buat I naik angin,” ujar Putra sambil menggeleng sendiri.
Tania tersandar di kerusinya lantas menangis.
Puas dia mengutuk diri sendiri kerana begitu bodoh. Sudahnya dia sendiri yang
jadi begini.
Sepanjang perjalanan mereka lebih banyak
membisu. Melainkan Putra hanya bertanyakan kawasan kediaman Tania. Lelaki itu
memberhentikan keretanya sedikit jarak dari pintu pagar banglo milik Tan Sri
Falaq.
“You anak orang kaya rupanya ya...” ucap Putra
sambil memandang ke arah banglo yang didiami keluarga Tania.
Tania sekadar membiarkan soalan itu tidak
berjawab. Cuba membuka pintu namun tidak berjaya. Sudahnya dia merengus sambil
memandang ke luar.
“I’m sorry, Nia. Can I call you Nia?”
ucap Putra sedikit mendayu. Tania langsung tidak menjawab.
“Nia, dengar cakap I ni. Pandang sini,
sayang...” pujuk lelaki itu lantas mencapai jemari Tania.
“Look at me,” pinta Putra sekali lagi.
Dia memberanikan diri menarik dagu Tania. “Jangan nangis.
Nanti parents you cakap apa pulak?”
“You takut ke?” perli Tania sambil menyeka air
mata di pipinya.
“I tak takut. Tapi I tak suka dapat malu. I
malas nak jawab soalan ramai orang. You tak kisah kalau orang tahu apa yang
berlaku antara kita semalam?” jawab Putra biasa.
Tania diam pula. Mula terbayangkan Tan Sri
Falaq dan Puan Sri Karmila. Dia yakin emak saudaranya akan naik hantu jika dia
membiarkan hal itu sampai kepada orang luar. Sudahlah emak saudaranya itu
memang garang. Bercakap dengannya tidak pernahnya dalam nada lembut.
“Nia, I like you so much. You nak I
buat apa tentang semalam? I akan buat apa saja untuk tebus semula kesilapan I
semalam, Nia. I ikhlas ni,” ujar lelaki itu. Bukan main lembut lagi lidah Putra
memujuk rayu.
Tania mendengus sendiri. Meluat mendengar
setiap ucapan Putra. Entah berapa ramai perempuan sudah dipujuk begitu agar
berdiam diri setelah diperlakukan begitu oleh lelaki itu.
“Can I call you sometimes?”
“I don’t want to see you again!” balas
Tania perlahan namun tajam.
“Janganlah macam tu. You nak I jumpa parents
you?”
“Untuk apa? You nak ugut I pulak ke
ni?” balas Tania lantas menoleh kepada lelaki itu.
“Bukan. Buat apa I nak ugut you?” ujar lelaki
itu mendayu-dayu suaranya. Jemari Tania diramasnya lembut. “I cuma nak kenal
you, Nia.”
“Tak nak!”
“Please... I minta maaf pasal semalam.
I minta maaf
pasal semuanya,” ujar Putra bersungguh. Tania
cuba menarik jemarinya dari pegangan lelaki itu. Namun Putra semakin
mengetatkan pegangannya.
“Nia...” bisik lelaki itu kian lunak. Sekalian
itu Putra tunduk mengucup belakang tangan Tania. Lagak persis lelaki hidung
belang jelas kelihatan.
“Please, maafkan I.”
“Berapa ramai perempuan yang you pujuk rayu
macam ni lepas you dah puas dengan diaorang semua? Berapa ramai?” tukas
Tania kasar.
Berubah sedikit wajah Putra mendengar bicara
itu. “You seorang saja.”
“Liar!”
“Sumpah!”
“Tak payah nak bersumpah macam budak-budaklah.
Lepaskan tangan I sebelum I doakan you jadi sesumpah!” balas Tania tetap dalam
nada kasar.
Putra tergelak tiba-tiba mendengar ujaran
gadis itu. “Cepatlah sumpah I jadi sesumpah. Cepat!” jawab lelaki itu selamba.
“Meluatlah bercakap dengan you ni,” desis
Tania lantas menarik jemarinya dari pegangan lelaki itu.
“Nia, give me your phone number?” ucap
Putra lagi.
“Tak nak!”
“Okey. I akan tanya pada ayah you.” Putra
segera mematikan enjin.
Namun belum sempat dia membuka pintu Tania
terlebih dahulu menarik bajunya. Putra ketawa kecil tanda senang hati melihat
Tania mula mengalah. Telefon bimbitnya diambil.37
No comments:
Post a Comment